Sabtu, 09 November 2013

KERONCONG

KERONCONG

Keroncong merupakan nama dari instrumen musik sejenis ukulele dan juga sebagai nama dari jenis musik khas Indonesia yang menggunakan instrumen musik keroncong, flute, dan seorang penyanyi wanita.         Asal-usul Akar keroncong berasal dari sejenis musik Portugis yang dikenal sebagai fado yang diperkenalkan oleh para pelaut dan budak kapal niaga bangsa itu sejak abad ke-16 ke Nusantara. Dari daratan India (Goa) masuklah musik ini pertama kali di Malaka dan kemudian dimainkan oleh para budak dari Maluku. Melemahnya pengaruh Portugis pada abad ke-17 di Nusantara tidak dengan serta-merta berarti hilang pula musik ini. Bentuk awal musik ini disebut moresco (sebuah tarian asal Spanyol, seperti polka agak lamban ritmenya), di mana salah satu lagu oleh Kusbini disusun kembali kini dikenal dengan nama Kr. Muritsku, yang diiringi oleh alat musik dawai. Musik keroncong yang berasal dari Tugu disebut keroncong Tugu. Dalam perkembangannya, masuk sejumlah unsur tradisional Nusantara, seperti penggunaan seruling serta beberapa komponen gamelan. Pada sekitar abad ke-19 bentuk musik campuran ini sudah populer di banyak tempat di Nusantara, bahkan hingga ke Semenanjung Malaya.
         Masa keemasan ini berlanjut hingga sekitar tahun 1960-an, dan kemudian meredup akibat masuknya gelombang musik populer (musik rock yang berkembang sejak 1950, dan berjayanya musik Beatle dan sejenisnya sejak tahun 1961 hingga sekarang). Meskipun demikian, musik keroncong masih tetap dimainkan dan dinikmati oleh berbagai lapisan masyarakat di Indonesia dan Malaysia hingga sekarang.
         Fado, Gereja Protestan dan Musik Keroncong Seperti diketahui bahwa Musik Keroncong masuk ke Indonesia sekitar tahun 1512, yaitu pada waktu Ekspedisi Portugis pimpinan Alfonso de Albuquerque datang ke Malaka dan Maluku tahun 1512. Tentu saja para pelaut Portugis membawa lagu jenis Fado, yaitu lagu rakyat Portugis bernada Arab (tangga nada minor, karena orang Moor Arab pernah menjajah Portugis/Spanyol tahun 711 - 1492. Lagu jenis Fado masih ada di Amerika Latin (bekas jajahan Spanyol), seperti yang dinyanyikan Trio Los Panchos atau Los Paraguayos, atau juga lagu di Sumatera Barat (budaya Arab) seperti Ayam Den Lapeh.
         Pada waktu tawanan Portugis dan budak asal Goa (India) di Kampung Tugu dibebaskan pada tahun 1661 oleh Pemerintah Hindia Belanda (VOC), mereka diharuskan pindah agama dari Katholik menjadi Protestan, sehingga kebiasaan menyanyikan lagu Fado menjadi harus bernyanyi seperti dalam Gereja Protestan, yang pada tangga nada mayor.
         Selanjutnya pada tahun 1880 Musik Keroncong lahir, dan awal ini Musik Keroncong juga dipengaruhi lagu Hawai yang dalam tangga nada mayor, yang juga berkembang pesat di Indonesia bersamaan dengan Musik Keroncong (lihat Musik Suku Ambon atau The Hawaian Seniors pimpinan Jenderal Polisi Hugeng).Alat-alat musik
         Dalam bentuknya yang paling awal, moresco diiringi oleh musik dawai, seperti biola, ukulele, serta selo. Perkusi juga kadang-kadang dipakai. Set orkes semacam ini masih dipakai oleh keroncong Tugu, bentuk keroncong yang masih dimainkan oleh komunitas keturunan budak Portugis dari Ambon yang tinggal di Kampung Tugu, Jakarta Utara, yang kemudian berkembang ke arah selatan di Kemayoran dan Gambir oleh orang Betawi berbaur dengan musik Tanjidor (tahun 1880-1920). Tahun 1920-1960 pusat perkembangan pindah ke Solo, dan beradaptasi dengan irama yang lebih lambat sesuai sifat orang Jawa.
         Pem-"pribumi"-an keroncong menjadikannya seni campuran, dengan alat-alat musik seperti sitar India,rebab, suling bambu, gendang, kenong, dan saron sebagai satu set gamelan, gong.

Saat ini, alat musik yang dipakai dalam orkes keroncong mencakup ukulele cuk, berdawai 3 (nilon), urutan nadanya adalah G, B dan E; sebagai alat musik utama yang menyuarakan crong - crong sehingga disebut keroncong (ditemukan tahun 1879 di Hawai, dan merupakan awal tonggak mulainya musik keroncong)
ukulele cak, berdawai 4 (baja), urutan nadanya A, D, Fis, dan B. Jadi ketika alat musik lainnya memainkan tangga nada C, cak bermain pada tangga nada F (dikenal dengan sebutan in F); gitar akustik sebagai gitar melodi, dimainkan dengan gaya kontrapuntis (anti melodi); biola (menggantikan Rebab); sejak dibuat oleh Amati atau Stradivarius dari Cremona Itali sekitar tahun 1600 tidak pernah berubah modelnya hingga sekarang
    flute (mengantikan Suling Bambu), pada Era Tempo Doeloe memakai Suling Albert (suling kayu hitam dengan lubang dan klep, suara agak patah-patah, contoh orkes Lief Java), sedangkan pada Era Keroncong Abadi telah memakai Suling Bohm (suling metal semua dengan klep, suara lebih halus dengan ornamen nada yang indah, contoh flutis Sunarno dari Solo atau Beny Waluyo dari Jakarta);
         selo; betot menggantikan kendang, juga tidak pernah berubah sejak dibuat oleh Amati dan Stradivarius dari Cremona Itali 1600, hanya saja dalam keroncong dimainkan secara khas dipetik/pizzicato;
         kontrabas (menggantikan Gong), juga bas yang dipetik, tidak pernah berubah sejak Amati dan Stradivarius dari Cremona Itali 1600 membuatnya;
         Penjaga irama dipegang oleh ukulele dan bas. Gitar yang kontrapuntis dan selo yang ritmis mengatur peralihan akord. Biola berfungsi sebagai penuntun melodi, sekaligus hiasan/ornamen bawah. Flut mengisi hiasan atas, yang melayang-layang mengisi ruang melodi yang kosong.
         Bentuk keroncong yang dicampur dengan musik populer sekarang menggunakan organ tunggal serta synthesizer untuk mengiringi lagu keroncong (di pentas pesta organ tunggal yang serba bisa main keroncong, dangdut, rock, polka, mars). Jenis keroncong
         Musik keroncong lebih condong pada progresi akord dan jenis alat yang digunakan. Sejak pertengahan abad ke-20 telah dikenal paling tidak tiga macam keroncong, yang dapat dikenali dari pola progresi akordnya. Bagi pemusik yang sudah memahami alurnya, mengiringi lagu-lagu keroncong sebenarnya tidaklah susah, sebab cukup menyesuaikan pola yang berlaku. Pengembangan dilakukan dengan menjaga konsistensi pola tersebut. Selain itu, terdapat pula bentuk-bentuk campuran serta adaptasi.
Perkembangan musik keroncong masa kini Setelah mengalami evolusi yang panjang sejak kedatangan orang Portugis di Indonesia (1522) dan pemukiman para budak di daerah Kampung Tugu tahun 1661 [2] [3], dan ini merupakan masa evolusi awal musik keroncong yang panjang (1661-1880), hampir dua abad lamanya, namun belum memperlihatkan identitas keroncong yang sebenarnya dengan suara crong-crong-crong, sehingga boleh dikatakan musik keroncong belum lahir tahun 1661-1880.
Dan akhirnya musik keroncong mengalami masa evolusi pendek terakhir sejak tahun 1880 hingga kini, dengan tiga tahap perkembangan terakhir yang sudah berlangsung dan satu perkiraan perkembangan baru (keroncong millenium). Tonggak awal adalah pada tahun 1879 [4], di saat penemuan ukulele di Hawai [5] yang segera menjadi alat musik utama dalam keroncong (suara ukulele: crong-crong-crong), sedangkan awal keroncong millenium sudah ada tanda-tandanya, namun belum berkembang (Bondan Prakoso).
Empat tahap masa perkembangan tersebutadalah:

  • Masa keroncong tempo doeloe (1880-1920),
  • Masa keroncong abadi (1920-1960), dan
  •  Masa keroncong modern (1960-2000), serta Masa keroncong millenium (2000-kini)
  • Masa keroncong tempo doeloe (1880-1920)

Ukulele ditemukan pada tahun 1879 di Hawaii, sehingga diperkirakan pada tahun berikutnya Keroncong baru menjelma pada tahun 1880, di daerah Tugu kemudian menyebar ke selatan daerah Kemayoran dan Gambir (lihat ada lagu Kemayoran dan Pasar Gambir, sekitar tahun 1913). Komedie Stamboel 1891-1903 lahir di Kota Pelabuhan Surabaya tahun 1891, berupa Pentas Gaya Instanbul, yang mengadakan pertunjukan keliling di Hindia Belanda, Singapura, dan Malaya lewat jalur kereta api maupun kapal api. Pada umumnya pertunjukan meliputi Cerita 1001 Malam (Arab) dan Cerita Eropa (Opera maupun Rakyat), termasuk Hikayat India dan Persia. Sebagai selingan, antar adegan maupun pembukaan, diperdengarkan musik mars, polka, gambus, dan keroncong. Khusus musik keroncong dikenal pada waktu itu Stambul I, Stambul II, dan Stambul III.